Ulaon Sadari Dalam Adat Batak di Jakarta

left

PELAKSANAAN upacara adat di tengah-tengah masyarakat Batak di wilayah, Jakarta, Borgor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) dalam dua dekade ini atau sejak 1980-an, para orang tua telah memikirkan berbagai  penyerderhanaan. Hal ini sebagai jawaban nyata atas berbagai keluhan mengenai waktu yang terlalu banyak tersita dalam pelaksanaan upacara adat, baik itu perkawinan maupun upacara adat orang tua meninggal.


Yang timbul dalam pemikiran adalah usaha untuk mengurangi hari-hari yang dibutuhkan dalam proses pelaksanaan upacara adat. Dalam proses acara perkawinan ada Marhata Sinamot dan Pesta Unjuk yang dahulu kala harus dilaksanakan pada hari-hari yang terpisah. Demikian halnya dengan acara adat bagi orang tua yang meninggal yang diesebut Mangarapot (rapat) dan Partutanona atau Partuatna (penguburan). Mangarapot adalah ulaon di jabu (upacara di rumah), sedangkan Partutanona adalah ulaon di alaman (upacara di depan rumah) masing-masing diselenggarakan pada dua hari yang terpisah. Para orang tua mulai mengadopsi suatu kesepakatan terutama kesepakatan di antara pihak-pihak Hasuhuton (yang punya hajat) supaya dua upacara yang terpisah ini dilaksanakan dalam satu hari saja yang memunculkan ulaon sadari. Pengertian dasarnya adalah, dua upacara yang sebelumnya harus dilaksanakan dalam dua hari yang terpisah, sekarang dilakasnakan dalam satu hari saja. Upacara adat perkawinan Marhata Sinamot dan Pesta Unjuk dilakukan dalam satu hari saja. Sedangkan upacara adat bagi orang tua yang meninggal, Mangarapot dan Partutanona dilaksanakan satu hari juga. Usaha pemangkasan waktu (terpotong satu hari penuh) yang dianggap sangat signifikan itu segera pula diterima oleh semua kelompok marga-marga di Jabodetabek seperti yang sudah berlangsung sekarang ini. Tentu saja penerimaan yang sangat antusias ini dapat masuk di akal karena langsung memotong satu hari upacara yang melibatkan tiga unsur Dalihan na Tolu (Dongan tubu, Boru dan Hula-hula) Ulaon sadari Upacara adat Perkawinan Situasi yang kemudian muncul adalah, kehidupan masyarakat pada umumnya di wilayah metropolitan Jabodetabek ini semakin disibukkan oleh kegiatan kerja sehari-hari yang menuntut waktu disiplin yang semakin ketat pula. Sepanjang hari, semua orang termasuk anggota masyaraklat Batak tenggelam dalam kesibukan sehari-hari dari pagi hingga malam hari. Akhir minggu dimanfaatkan untuk bersama-sama dengan anak-anak atau keluarga. Dengan perkataan lain, waktu semakin sempit dan oleh karena itu semakin mahal pula nilainya. Perlu dicatat, sampai tahun 1970-an, orang Batak dominan menjadi Pegawi Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/Polri, guru dan karyawan BUMN. Jam kerja yang resmi waktu itu adalah pukul 7.30 sampai pukul 14.00. Mulai hari Senin sampai Kamis jam kerja mulai pukul 07.30 sampai 12.00 dan pada hari Jumat 07.30 hingga 11.00 sedangkan Sabtu mulai dari pukuk 07.30 sampai 12.00. Jamkerja ini berlaku untuk semua instansi dan organisasi. Pada akhir-akhir tahun 1960-an dan awal 70-an, perusahaan-perusahaan asing dari Amerika, Jepang dan Eropa Barat mulai masuk ke Indonesia segera menerapkan jam kerja mulai pukul 08.00 hingga 17.00 setiap hari Senin sampai Jumat dan hari Sabtu libur. Meskipun pada masa itu anak-anak muda orang Batak yang baru menyelesaikan sekolahnya lebih banyak tertarik menjadi pegawai negeri dan sebagian memulai karirnya di perusahaan-perusahaan swasta terutama perusahaan asing seperti bank, industri dan perminyakan. Pada awal tahun 1980-an, jam kerja resmi diubah menjadi pukul 08.00 sampai 17.00 atau pukul 07.30 hingga 16.00, dimulai Senin sampai Jumat dan Sabtu libur. Dari perubahan atau peralihan jam dan lapangan kerja yang digeluti oleh anggota masyarakat Batak, dapat dibayangkan bagaimana pengaruhnya kemungkinan dalam menyisihkan watunya untuk acara-acara adat yang dari waktu ke waktu semakin padat pula sesuai dengan berkembangnya populasi masyarakat Batak di Jabodetabek. Kemudian hal itu masih diperketat oleh tuntutan disiplin kerja dan waktu akibat dari resesi demi resesi ekonomi yang melanda Indonesia. Kenyataan yang kita hadapi dewasa ini adalah upacara adat perkawinan yang dilaksankan dalam Ulaon Sadari itu memakan waktu satu hari penuh dari pagi hingga sore atau sampai malam hari. Pesta Unjuk di gedung pertemuan pada umumnya baru selesai sekitar pukul 18.00-20.00. Panjangnya waktu yang dibutuhkan itulah yang pada umunya dikeluhkan sekarang ini. Mungkin, perlu juga diakui bahwa dua upacara adat yang sebelumnya dilaksanakan dua hari secara terpisah, kemudian disingkat menjadi satu hari, tentu akan membutuhkan waktu yang lebih panjang. Tetapi nyatanya, kedua upacara itu dapat diselesaikan dalam satu hari sehingga tidak perlu mundur untuk memikirkan pemisahan kembali kedua upacara tersebut pada hari-hari yang terpisah. Itu pasti merupakan langkah mundur dari kebijakan dan kesepakatan yang diprakarsai oleh para orang tua dua puluh tahun yang lalu. Dengan masuknya acara Tingkir Tangga dan Paulak Une atau Mebat ke dalam Ulaon Sadari adalah bersumber pada keinginan kedua belah pihak Hasuhuton untuk menyelesaikan kewajiban-kewajiban adat selanjutnya pada hari yang sama. Utamanya, apabila salah satu atau kedua belah pihak Hasuhuton tidak berdomisili di Jabodetabek. Hal ini akan menambah waktu pada Pesta Unjuk . Di sisi lain, makna mendasar yang terkandung dalam kedua acara singkat dan sederhana inipun menjadi hilang sama sekali.Dari berbagai sumber 

Comments

Popular posts from this blog

Perkawinan yang dilarang dalam adat Batak Toba

Kumpulan Umpasa Batak